ANALISIS PENERAPAN
HUKUM
TERHADAP KASUS
PELANGGARAN PAJAK
(STUDI KASUS PADA PT
RAMAYANA LESTARI SENTOSA-PAULUS TUMEWU)
A.
Latar
Belakang
Salah satu ciri dari
sistem pemungutan pajak di Indonesia adalah self assessment system yaitu sistem
pemungutan pajak yang memberikan kepercayaan kepada masyarakat/Wajib Pajak
untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri jumlah pajak
yang terutang. Sistem pemungutan pajak tersebut mempunyai arti bahwa penentuan/penetapan,
serta pelaporan secara teratur tentang besarnya pajak terutang dan jumlah pajak
yang telah dibayar, sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan dipercayakan sepenuhnya kepada Wajib Pajak (WP). Artinya,
keberhasilan dan kegagalan di bidang pajak sangat dipengaruhi oleh Wajib Pajak.
System tersebut lebih memandang Wajib Pajak sebagai subjek dan bukan objek
semata. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak menurut undang-undang sekarang sama
dengan fiskus. Agar suatu Self assessment system berhasil, tidak hanya
diperlukan pengetahuan yang cukup dari wajib pajak . Tanpa dilandasi oleh
kesadaran , kejujuran, dan kedisiplinan yang memadai, maka kepercayaan yang diberikan
kepada Wajib Pajak (WP) dapat disalahgunakan. Untuk itu Administrasi perpajakan
harus berperan aktif dalam melaksanakan pengendalian administrasi pemungutan
pajak yang meliputi tugas-tugas pembinaan, pelayanan, pengawasan, dan penerapan
sanksi perpajakan. Salah satu
pengendalian administrasi pemingutan pajak adalah dengan adanya kewajiban untuk
menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) dengan benar dan lengkap seperti yang
tercantum dalam Pasal 3 UU KUP, Seperti yang kita ketahui belakangan ini muncul
pemberitaan berbagai kasus pajak seperti kasus “Gayus Tambunan” dan “Paulus
Tumewu”, tapi yang menjadi latar belakang dari tugas ini adalah kasus
penghentian penyidikan kasus Penggelapan Pajak “Paulus Tumewu” yang berdasar
hasil penyelidikan, Paulus diduga melakukan tindak pidana perpajakan yang
berhubungan dengan Surat Pemberitahuan karena tidak melaporkan sebagian
penghasilan (telah melanggar ketentuan pasal 39 ayat (1) UU nomor 16 tahun 2000
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebelum perubahan oleh
UU No 28 tahun 2007 ) yaitu, menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau
keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dan telah P-21 (berkas
dinyatakan lengkap) oleh Kejaksaan atas dasar surat permohonan dari Menteri
Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, agar Jaksa Agung mengeluarkan surat untuk
menghentikan kasus Paulus Tumewu. Surat permohonan itu dibuat atas surat
permohonan dari Paulus Tumewu yang telah melunasi utang pajaknya ke Menkeu (Sri
Mulyani). Yang akhirnya Dibalas Menkeu dengan memberi disposisi ke Sekjen
Depkeu yang menyatakan Paulus dikenakan denda 400 persen dari hutang pokok
pajak. Paulus meminta Menkeu mengusulkan ke Jaksa Agung menghentikan penyidikan
dan penuntutan atas dirinya. Dan akhirnya memang berkas kasus pidana pajak
“Paulus Tumewu” yang telah P-21 itu tidak berlanjut ke Pengadilan. Padahal di
dalam ketentuan Pasal 39 itu sanksi pidananya bukan alternatif tetapi kumulatif
yaitu pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam)
tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang
tidak atau kurang dibayar. sehingga pemberhentian penyidikan/ pengeluaran SKPP
tersebut oleh sebagian kalangan di anggap ada intervensi dari Menteri Keuangan.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis membuat tugas ini dengan judul “analisis penerapan hukum terhadap kasus
pelanggaran pajak (studi kasus pada PT ramayana lestari sentosa)”.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana Kronologis Pelanggaran Pajak Yang Dilakukan Oleh
Paulus Tumewu
2.
Bagaimana penegakan hukum dalam tindak pidana pajak yang
berkaitan dengan kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan dengan benar dan
lengkap menurut Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum
Perpajakan ?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk Mengetahui Permasalahan Pelanggaran Pajak Oleh Saudara
Paulus Tumewu
2.
Untuk Menjelaskan Kajian Hukum Terhadap Pelanggaran Pajak
A. Profil Singkat PT Ramayana Lestari
Sentosa-Paulus Tumewu
PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk
didirikan pada tahun 1978 oleh Paulus Tumewu dan istrinya Tan Lee Chuan.
Ramayana adalah jaringan toko swalayan yang memiliki banyak cabang di
Indonesia. Selain department store yang menjual produk sandang seperti baju dan
sepatu, Ramayana juga memiliki supermarket atau pasar swalayan yang menjual
kebutuhan pangan dan sehari-hari. Supermarket milik Ramayana disebut Ramayana
Supermarket. Grup usaha Ramayana terdiri atas Ramayana, Robinson dan
Cahaya. Pada tahun 1996 menjadi perusahaan publik dengan jumlah store lebih
dari 45 store. Saat ini Ramayana memiliki 118 store yang tersebar di seluruh
Indonesia dan masih akan terus berekspansi. Ramayana terus melakukan berbagai
inovasi menarik lainnya dengan mengembangkan konsep belanja satu atap pusat
perbelanjaan. Dengan konsep ini, Ramayana semakin tumbuh dengan jaringan ritel
yang terbesar di Indonesia. Hingga saat ini jaringan ritel Ramayana telah
tersebar di lebih dari 42 kota besar yang ada di Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi bahkan Ramayana telah membuka jaringan toko di Papua pada tahun 2010. Saat
ini perusahaan telah mempekerjakan lebih dari 17.867 orang karyawan yang telah
berdedikasi tinggi pada perusahaan. Dengan visi "menjadi jaringan ritel
terbesar di Indonesia dengan mengendalikan biaya, meningkatkan layanan
pelanggan, pengembangan sumber daya manusia kami dan mempertahankan hubungan
saling menguntungkan dengan pemasok dan rekan bisnis" Ramayana akan selalu
memanjakan konsumen-nya dengan produk berkualitas tinggi dan harga yang
terjangkau.
Paulus Tumewu lahir di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan pada tahun 1952. Paulus
Tumewu adalah Komisaris Utama PT. Ramayana Lestari Sentosa. Paulus Tumewu.
inilah yang mengepalai Ramayana dan Robinson Department Store. Paulus Tumewu
pada tahun 2006 menempati urutan ke-15 dari daftar 40 orang terkaya di
Indonesia.
B. Kronologis Pelanggaran Yang Dilakukan
Pada
tanggal 31 Agustus 2005, Paulus ditangkap oleh POLRI bersama Ditjen Pajak,
karena dianggap telah dengan sengaja mengecilkan omzet yang diterima oleh
Ramayana dan tidak mengisi Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) dengan benar,sehingga merugikan negara Rp 399 milyar.
Perbuatan Paulus ini berarti melanggar pasal 39 ayat 1b huruf c UU No 16 tahun
2000 Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ”barang siapa dengan sengaja
menyampaikan SPT tidak benar dapat dipidanakan
dengan ancaman hukuman 6 tahun penjara, serta denda 4 kali pajak
terutang”.
Pelangaran-pelanggaran yang
dilakukan oleh Paulus Tumewu:
1. Tidak melaporkan SPT secara benar
Penjelasan
yang tertuang dalam pasal 13 A UU No. 28 tahun 2008 yang menyatakan bahwa:
Wajib pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau
menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap,
atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan Negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila
kealpaannya tersebut pertama kali dilakukan oleh wajib pajak dan wajib pajak
tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang
beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen)
dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
2. Menolak untuk dilakukan pemeriksaan
oleh Dirjen Pajak
Pasal 39
ayat 1(e) yang berisi: Setiap orang dengan sengaja menolak untuk dilakukan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29.
3. Memperlihatkan pembukuan secara
palsu
Pasal 39
ayat 1(f) yang berbunyi: Setiap orang dengan sengaja memperlihatkan pembukuan,
pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar atau
tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya.
C. Hukum
Pajak Dalam Undang Undang KUP
Pajak dapat
ditinjau dari berbagai pendekatan disiplin ilmu, seperti ilmu hukum, ekonomi,
politik, dan sosial (sosiologi). Dalam pendekatan hukum, Rochmat Soemitro
mendefinisikan pajak sebagai:1 “Suatu perikatan yang timbul karen
undang-undang, yang mewajibkan orang yang memenuhi syarat (tatbestand)
yang ditentukan dalam undang-undang, untuk membayar suatu jumlah tertentu
kepada negara yang secara langsung dapat ditunjuk, yang digunakan untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran negara (pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan,
fungsi budgeter)”
Pengertian atau definisi pajak yang berasal dari Undang-Undang
KUP (UU 28/2007) yang tercantum dalam pasal 1 angka 1 yang menyatakan bahwa, “Pajak adalah kontribusi wajib kepada
negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”
Undang-undang KUP sendiri telah mengalami tiga kali perubahan
sejak diundangkan pertama kali dengan UU Nomor 6 Tahun 1983 yang mulai berlaku
sejak 1 Januari 1984. Perubahan pertama dilakukan dengan UU Nomor 9 Tahun 1994
dan mulai berlaku 1 Januari 1995. Perubahan kedua dilakukan dengan UU Nomor 16
Tahun 2000 dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 2001. Perubahan terakhir dilakukan
dengan UU Nomor 28 Tahun 2007 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2008 sampai
sekarang.
D. Sistem Pemungutan Pajak
Dalam pajak sendiri ada berbagai macam system pemungutan di
antaranya, yaitu:
1. Official Assessment System : suatu
system pemungutan pajak yang berdasarkan undang-undang pemerintah (fiskus)
diberi wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang.
2. Self Assesment
system : suatu system pemungutan pajak yang berdasarkan undang-undang
memberikan kepercayaan lepada wajib pajak (WP) untuk melaksanakan hak dan
kewajibannya dibidang perpajakan. Dalam memenuhi hak dan kewajiban
perpajakannya karena pada dasarnya sistem pemungutan pajak di Indonesia adalah
self assesment system dimana wajib pajak diberi kepercayaan penuh untuk
menghitung, memperhitungkan, membayar serta melaporkan sendiri pajak yang
terhutang. 2
3.
With Holding System : suatu system pemungutan pajakyang
berdasarkan undang-undang memberi kepercayaan /wewenang kepada pihak ketiga(bukan
pemerintah dan bukan wajib pajak (WP) yang bersangkutan ) untuk memotong atau
memungut pajak yang wajib dipotong /dipungut dari wajib pajak (WP) yang wajib
membayarnya.
Undang-undang KUP
sendiri menganut system pemungutan pajak Self Assessment System. Self
Assessment tercantum dalam pasal 12 UU KUP yang berbunyi :
(1)Setiap
WP wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak
menggantungkan pada adanya SKP.
(2)Jumlah
Pajak yang terutang menurut SPT yang disampaikan oleh WP adalah jumlah pajak
yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(3)Apabila
Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) mendapatkan bukti jumlah pajak yang
terutang menurut SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Dirjen
Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang.
E.
Perlawanan
Terhadap Pajak
Lepas dari kesadaran
kewarganegaraan dan solidaritas nasional, lepas pula dari pengertian tentang
kewajibannya terhadap Negara, sebagian besar di antara rakyat tidak akan pernah
meresapi kewajibannya membayar pajak sedemikian rupa sehingga memenuhinya tanpa
menggerutu. Bahkan, bila ada sedikit kemungkinan saja, maka pada umumnya
cenderung untuk meloloskan diri dari setiap pajak. Dalam usaha perlawanan
inilah, terletak faktor utama dari perlawanan terhadap pajak, yang dapat di
bedakan ke dalam:
1. Perlawanan pasif
Perlawanan pasif ini terdiri dari hambatan-hambatan
yang mempersukar
pemungutan pajak dan erat hubungannya
dengan struktur ekonomi suatu Negara, dengan
perkembangan intelektual dan moral penduduk, dan dengan teknik pemungutan pajak
itu sendiri.
2. Perlawanan aktif
Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan
perbuatan, yang secara langsung ditujukan terhadap fiskus dan bertujuan untuk
menghindari pajak di antaranya dapat dibedakan dengan cara-cara sebagai berikut
:
• Penghindaran diri dari pajak
• Pengelakan/ penyelundupan pajak
• Melalaikan pajak
• Penghindaran diri dari pajak
• Pengelakan/ penyelundupan pajak
• Melalaikan pajak
Dari berbagai macam
perlawanan terhadap pajak ini kemudian dengan berdasar pada self assessmet
system ini, maka dalam undang-undang KUP ini mewajibkan si wajib pajak (WP)
untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT), yang dimaksud Surat Pemberitahuan
(SPT) ini sendiri seperti yang tercantum dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang
KUP, yaitu :
Surat yang oleh Wajib
Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek
pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Kewajban melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam SPT tercantum dalam Pasal 3 ayat 1 UU KUP yang berbunyi sebagai berikut :
Kewajban melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam SPT tercantum dalam Pasal 3 ayat 1 UU KUP yang berbunyi sebagai berikut :
Setiap Wajib Pajak wajib
mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa
Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah,
dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak
tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan
oleh Direktur Jenderal Pajak.
Yang dimaksud dengan
benar, lengkap, dan jelas dalam mengisi SPT adalah:
a. benar adalah benar dalam perhitungan, termasuk
benar dalam penerapan ketentuan
peraturan UU Pajak, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya;
b. lengkap adalah memuat semua unsur-unsur yang
berkaitan dengan objek pajak dan
unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam SPT; dan
c. jelas melaporkan asal-usul / sumber objek
pajak dan unsur lain yang harus diisikan dalam SPT.
Bahkan kewajiban
untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) dengan benar dan lengkap ini juga
ada sanksi pidananya seperti yang tercantum dalam UU KUP Pasal 38, yaitu :
Setiap orang yang karena kealpaannya:
Setiap orang yang karena kealpaannya:
a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
atau
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi
isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak
benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan
yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit
1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling
banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau
dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu)
tahun.
Dan juga di Pasal 39 ayat (1) menyatakan
bahwa,
Setiap orang yang dengan sengaja:
a.tidak
mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b.
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
c. tidak
menyampaikan Surat Pemberitahuan;
d. menyampaikan Surat
Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;
e. menolak untuk
dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;
f.
memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan
seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;
g.tidak
menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan
atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain
h. tidak menyimpan
buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan
dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara
elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line di Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau
i. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong
atau dipungut. sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara
dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit
2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling
banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Dari isi
pasal-pasal di atas bisa dilihat bahwa kedua-duanya memiliki sanksi pidana baik
di Pasal 38 yang karena kealpaan juga Pasal 39 yang karena kesengajaan.
Tetapi harus diingat bahwa dalam pelaksanaan ketentuan di bidang perpajakan itu ada 2 jenis penegakan hukum, yaitu:
Tetapi harus diingat bahwa dalam pelaksanaan ketentuan di bidang perpajakan itu ada 2 jenis penegakan hukum, yaitu:
1.
Penegakan Hukum Administrasi
Penegakan hukum administrasi bertujuan agar sesuatu yang
menyimpang dapat dibenahi. Dalam hal ini, yang menjadi fokus perhatian untuk
mendapatkan penanganan adalah perbaikan atau perubahan sikap atau perilaku dari
si subjek. Penegakan hukum administrasi kurang memberikan tekanan pada si
subjek atau pelaku pelanggaran, melainkan lebih menekankan pada perbuatannya.
Penegakan hukum administrasi dilakukan oleh aparat pemerintah dibidang pajak,
jadi bukan oleh hakim.
2.
Penegakan Hukum Pidana
penegakan hukum
pajak selain dari penegakan hukum administrasi pajak berupa keberatan dan banding
atas sengketa pajak antara wajib pajak dengan pemungut pajak, selanjutnya adalah
penegakan hukum pidana pajak Berbicara hukum pidana pajak, tidak lepas dari
adanya pelanggaran atas norma-norma hukum pidana pajak atau dengan kata lain merupaka
penegakan hukum atas adanya tindak pidana pajak yang dilakukan. Tindak pidana
pajak adalah jenis tindak pidana yang berada diluar Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP), yang merupakan jenis pidana administrasi (administrative
penal law). Posisi menyusul hukum pidana setelah hukum administrasi ini
kemudian menjadi dilematis karena terletak antara dua pandangan. Pandangan
pertama yaitu bahwa hukum pidana merupakan ultimum remidium atau upaya
terakhir dalam penegakan hukum setelah diberikan peluang penyelesaian hukum
lewat cabang hukum lain, misalkan hukum administrasi, perdata, dll. Pandangan
pertama ini senada dengan pengertian hukum pidana administrasi yang diajukan
Barda Nawawie Arief dan senada dengan asas subsidiaritas dalam hukum pidana.
Pandangan kedua yang berorientasi kepada pendayagunaan hukum pidana untuk tercapainya
tujuan publik dari hukum pidana menyatakan bahwa setelah adanya penegakan hukum
administrasi (sanksi administratif) pada suatu tindak pidana administrasi tidak
menghilangkan sanksi pidana atas perbuatan tersebut.9
Penegakan hukum pidana dilakukan melalui melalui proses
peradilan. Dalam rangka penegakan hukum pidana di mungkinkan adanya kumulasi
eksternal atas penerapan sanksi. Penerapan sanksi kumulatif secara eksternal
adalah pengenaan sanksi administrasi dan pengenaan sanksi pidana secara
sekaligus.
Di dalam hukum pidana ada berbagai macam cara penerapan sanksi / stelsel pemidanaan, yaitu:
Di dalam hukum pidana ada berbagai macam cara penerapan sanksi / stelsel pemidanaan, yaitu:
1.
Stelsel Alternatif
Ciri khas suatu UU mengatur stelsel pemidanaan yang alternatif
yaitu norma dalam UU ditandai dengan kata “atau”. Misalnya ada norma dalam UU
yang berbunyi “… diancam dengan pidana penjara atau pidana denda …”.
2.
Stelsel Kumulatif
Stelsel kumulatif ini ditandai dengan cirri khas adanya kata
“dan”.UU Tindak Pidana Korupsi merupakan salah satu contoh UU yang menganut
stelsel ini. Dengan adanya kata “dan”, maka hakim harus menjatuhkan pidana
dua-duanya.
3.
Stelsel Alternatif Kumulatif
Berbeda halnya dengan dua stelsel di atas, berdasarkan stelsel
alternatif kumulatif ini, ditandai dengan ciri “dan/atau”. Suatu UU yang
menganut stelsel ini, memberikan kebebasan hakim untuk menjatuhkan pidana
apakah alternatif (memilih) ataukah kumulatif (menggabungkan).
Bila dianalisa dari cara penerapan sanksi / stelsel pemidanaan, maka Pasal 38 UU KUP ini menggunakan cara penerapan sanksi / stelsel pemidanaan alternatif karena di dalam isi pasalnya menggunakan kata atau antara sanksi denda dan penjaranya, sedangkan untuk Pasal 39 ayat (1) UU KUP ini menggunakan cara penerapan sanksi / stelsel pemidanaan Kumulatif karena menggunakan kata dan antara sanksi denda dan penjaranya.
Bila dianalisa dari cara penerapan sanksi / stelsel pemidanaan, maka Pasal 38 UU KUP ini menggunakan cara penerapan sanksi / stelsel pemidanaan alternatif karena di dalam isi pasalnya menggunakan kata atau antara sanksi denda dan penjaranya, sedangkan untuk Pasal 39 ayat (1) UU KUP ini menggunakan cara penerapan sanksi / stelsel pemidanaan Kumulatif karena menggunakan kata dan antara sanksi denda dan penjaranya.
F.
Penetapan Hukum Terhadap Kasus Paulus Tumewu
Kasus Paulus Tumewu ini
memang menurut jaksa berdasarkan hasil penyidikan, Paulus diduga melakukan
tindak pidana perpajakan karena telah melanggar ketentuan pasal 39 ayat (1) UU
nomor 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP)
sebelum perubahan oleh UU No 28 tahun 2007 yang isinya pada intinya sama.
Tetapi meskipun Pasal 39 ayat (1) ini menganut penerapan sanksi/stelsel
pemidanaan Kumulatif, dalam UU KUP ini baik yang tahun 2000 maupun yang tahun
2007 juga di Pasal 44 B menyatakan bahwa:(1) Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan.
(2) Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan.
Bila melihat isi Pasal 44 B ini. Maka, apa yang di lakukan Menteri Keuangan dan Jaksa Agung ini adalah sudah sesuai dengan undang-undang apabila memang sebelum masuk ke Pengadilan Paulus Tumewu telah melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar