Jumat, 06 April 2018

ANALISIS PENERAPAN HUKUM TERHADAP KASUS PELANGGARAN PAJAK


ANALISIS PENERAPAN HUKUM

TERHADAP KASUS PELANGGARAN PAJAK

(STUDI KASUS PADA PT RAMAYANA LESTARI SENTOSA-PAULUS TUMEWU)





A.      Latar Belakang



Salah satu ciri dari sistem pemungutan pajak di Indonesia adalah self assessment system yaitu sistem pemungutan pajak yang memberikan kepercayaan kepada masyarakat/Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang. Sistem pemungutan pajak tersebut mempunyai arti bahwa penentuan/penetapan, serta pelaporan secara teratur tentang besarnya pajak terutang dan jumlah pajak yang telah dibayar, sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan dipercayakan sepenuhnya kepada Wajib Pajak (WP). Artinya, keberhasilan dan kegagalan di bidang pajak sangat dipengaruhi oleh Wajib Pajak. System tersebut lebih memandang Wajib Pajak sebagai subjek dan bukan objek semata. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak menurut undang-undang sekarang sama dengan fiskus. Agar suatu Self assessment system berhasil, tidak hanya diperlukan pengetahuan yang cukup dari wajib pajak . Tanpa dilandasi oleh kesadaran , kejujuran, dan kedisiplinan yang memadai, maka kepercayaan yang diberikan kepada Wajib Pajak (WP) dapat disalahgunakan. Untuk itu Administrasi perpajakan harus berperan aktif dalam melaksanakan pengendalian administrasi pemungutan pajak yang meliputi tugas-tugas pembinaan, pelayanan, pengawasan, dan penerapan sanksi perpajakan. Salah satu pengendalian administrasi pemingutan pajak adalah dengan adanya kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) dengan benar dan lengkap seperti yang tercantum dalam Pasal 3 UU KUP, Seperti yang kita ketahui belakangan ini muncul pemberitaan berbagai kasus pajak seperti kasus “Gayus Tambunan” dan “Paulus Tumewu”, tapi yang menjadi latar belakang dari tugas ini adalah kasus penghentian penyidikan kasus Penggelapan Pajak “Paulus Tumewu” yang berdasar hasil penyelidikan, Paulus diduga melakukan tindak pidana perpajakan yang berhubungan dengan Surat Pemberitahuan karena tidak melaporkan sebagian penghasilan (telah melanggar ketentuan pasal 39 ayat (1) UU nomor 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebelum perubahan oleh UU No 28 tahun 2007 ) yaitu, menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dan telah P-21 (berkas dinyatakan lengkap) oleh Kejaksaan atas dasar surat permohonan dari Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, agar Jaksa Agung mengeluarkan surat untuk menghentikan kasus Paulus Tumewu. Surat permohonan itu dibuat atas surat permohonan dari Paulus Tumewu yang telah melunasi utang pajaknya ke Menkeu (Sri Mulyani). Yang akhirnya Dibalas Menkeu dengan memberi disposisi ke Sekjen Depkeu yang menyatakan Paulus dikenakan denda 400 persen dari hutang pokok pajak. Paulus meminta Menkeu mengusulkan ke Jaksa Agung menghentikan penyidikan dan penuntutan atas dirinya. Dan akhirnya memang berkas kasus pidana pajak “Paulus Tumewu” yang telah P-21 itu tidak berlanjut ke Pengadilan. Padahal di dalam ketentuan Pasal 39 itu sanksi pidananya bukan alternatif tetapi kumulatif yaitu pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. sehingga pemberhentian penyidikan/ pengeluaran SKPP tersebut oleh sebagian kalangan di anggap ada intervensi dari Menteri Keuangan. Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis membuat tugas ini dengan judul “analisis penerapan hukum terhadap kasus pelanggaran pajak (studi kasus pada PT ramayana lestari sentosa)”.



B.       Rumusan Masalah

1.      Bagaimana Kronologis Pelanggaran Pajak Yang Dilakukan Oleh Paulus Tumewu

2.      Bagaimana penegakan hukum dalam tindak pidana pajak yang berkaitan dengan kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan dengan benar dan lengkap menurut Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan ?

C.       Tujuan Penulisan

1.      Untuk Mengetahui Permasalahan Pelanggaran Pajak Oleh Saudara Paulus Tumewu

2.      Untuk Menjelaskan Kajian Hukum Terhadap Pelanggaran Pajak













A.    Profil Singkat PT Ramayana Lestari Sentosa-Paulus Tumewu

PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk didirikan pada tahun 1978 oleh Paulus Tumewu dan istrinya Tan Lee  Chuan. Ramayana adalah jaringan toko swalayan yang memiliki banyak cabang di Indonesia. Selain department store yang menjual produk sandang seperti baju dan sepatu, Ramayana juga memiliki supermarket atau pasar swalayan yang menjual kebutuhan pangan dan sehari-hari. Supermarket milik Ramayana disebut Ramayana Supermarket. Grup  usaha Ramayana terdiri atas Ramayana, Robinson dan Cahaya. Pada tahun 1996 menjadi perusahaan publik dengan jumlah store lebih dari 45 store. Saat ini Ramayana memiliki 118 store yang tersebar di seluruh Indonesia dan masih akan terus berekspansi. Ramayana terus melakukan berbagai inovasi menarik lainnya dengan mengembangkan konsep belanja satu atap pusat perbelanjaan. Dengan konsep ini, Ramayana semakin tumbuh dengan jaringan ritel yang terbesar di Indonesia. Hingga saat ini jaringan ritel Ramayana telah tersebar di lebih dari 42 kota besar yang ada di Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi bahkan Ramayana telah membuka jaringan toko di Papua pada tahun 2010. Saat ini perusahaan telah mempekerjakan lebih dari 17.867 orang karyawan yang telah berdedikasi tinggi pada perusahaan. Dengan visi "menjadi jaringan ritel terbesar di Indonesia dengan mengendalikan biaya, meningkatkan layanan pelanggan, pengembangan sumber daya manusia kami dan mempertahankan hubungan saling menguntungkan dengan pemasok dan rekan bisnis" Ramayana akan selalu memanjakan konsumen-nya dengan produk berkualitas tinggi dan harga yang terjangkau.

Paulus Tumewu lahir di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan pada tahun 1952. Paulus Tumewu adalah Komisaris Utama PT. Ramayana Lestari Sentosa. Paulus Tumewu. inilah yang mengepalai Ramayana dan Robinson Department Store. Paulus Tumewu pada tahun 2006 menempati urutan ke-15 dari daftar 40 orang terkaya di Indonesia.



B.    Kronologis Pelanggaran Yang Dilakukan



Pada tanggal 31 Agustus 2005, Paulus ditangkap oleh POLRI bersama Ditjen Pajak, karena dianggap telah dengan sengaja mengecilkan omzet yang diterima oleh Ramayana dan tidak mengisi Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) dengan benar,sehingga merugikan negara Rp 399 milyar. Perbuatan Paulus ini berarti melanggar pasal 39 ayat 1b huruf c UU No 16 tahun 2000 Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ”barang siapa dengan sengaja menyampaikan SPT tidak benar dapat dipidanakan dengan ancaman hukuman 6 tahun penjara, serta denda 4 kali pajak terutang”.

Pelangaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Paulus Tumewu:

1. Tidak melaporkan SPT secara benar

Penjelasan yang tertuang dalam pasal 13 A UU No. 28 tahun 2008 yang menyatakan bahwa: Wajib pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaannya tersebut pertama kali dilakukan oleh wajib pajak dan wajib pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.

2. Menolak untuk dilakukan pemeriksaan oleh Dirjen Pajak

Pasal 39 ayat 1(e) yang berisi: Setiap orang dengan sengaja menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29.

3. Memperlihatkan pembukuan secara palsu

Pasal 39 ayat 1(f) yang berbunyi: Setiap orang dengan sengaja memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya.

C.      Hukum Pajak Dalam Undang Undang KUP

Pajak dapat ditinjau dari berbagai pendekatan disiplin ilmu, seperti ilmu hukum, ekonomi, politik, dan sosial (sosiologi). Dalam pendekatan hukum, Rochmat Soemitro mendefinisikan pajak sebagai:1 “Suatu perikatan yang timbul karen undang-undang, yang mewajibkan orang yang memenuhi syarat (tatbestand) yang ditentukan dalam undang-undang, untuk membayar suatu jumlah tertentu kepada negara yang secara langsung dapat ditunjuk, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara (pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan, fungsi budgeter)”

Pengertian atau definisi pajak yang berasal dari Undang-Undang KUP (UU 28/2007) yang tercantum dalam pasal 1 angka 1 yang menyatakan bahwa, “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”

Undang-undang KUP sendiri telah mengalami tiga kali perubahan sejak diundangkan pertama kali dengan UU Nomor 6 Tahun 1983 yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1984. Perubahan pertama dilakukan dengan UU Nomor 9 Tahun 1994 dan mulai berlaku 1 Januari 1995. Perubahan kedua dilakukan dengan UU Nomor 16 Tahun 2000 dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 2001. Perubahan terakhir dilakukan dengan UU Nomor 28 Tahun 2007 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2008 sampai sekarang.



D.   Sistem Pemungutan Pajak

Dalam pajak sendiri ada berbagai macam system pemungutan di antaranya, yaitu:

     1. Official Assessment System : suatu system pemungutan pajak yang berdasarkan undang-undang pemerintah (fiskus) diberi wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang.

     2. Self Assesment system : suatu system pemungutan pajak yang berdasarkan undang-undang memberikan kepercayaan lepada wajib pajak (WP) untuk melaksanakan hak dan kewajibannya dibidang perpajakan. Dalam memenuhi hak dan kewajiban perpajakannya karena pada dasarnya sistem pemungutan pajak di Indonesia adalah self assesment system dimana wajib pajak diberi kepercayaan penuh untuk menghitung, memperhitungkan, membayar serta melaporkan sendiri pajak yang terhutang. 2

3.    With Holding System : suatu system pemungutan pajakyang berdasarkan undang-undang memberi kepercayaan /wewenang kepada pihak ketiga(bukan pemerintah dan bukan wajib pajak (WP) yang bersangkutan ) untuk memotong atau memungut pajak yang wajib dipotong /dipungut dari wajib pajak (WP) yang wajib membayarnya.

Undang-undang KUP sendiri menganut system pemungutan pajak Self Assessment System. Self Assessment tercantum dalam pasal 12 UU KUP yang berbunyi :

(1)Setiap WP wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan   peraturan  perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada  adanya SKP.

(2)Jumlah Pajak yang terutang menurut SPT yang disampaikan oleh WP adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

(3)Apabila Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Dirjen Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang.



E.       Perlawanan Terhadap Pajak

Lepas dari kesadaran kewarganegaraan dan solidaritas nasional, lepas pula dari pengertian tentang kewajibannya terhadap Negara, sebagian besar di antara rakyat tidak akan pernah meresapi kewajibannya membayar pajak sedemikian rupa sehingga memenuhinya tanpa menggerutu. Bahkan, bila ada sedikit kemungkinan saja, maka pada umumnya cenderung untuk meloloskan diri dari setiap pajak. Dalam usaha perlawanan inilah, terletak faktor utama dari perlawanan terhadap pajak, yang dapat di bedakan ke dalam:

       1. Perlawanan pasif

        Perlawanan pasif ini terdiri dari hambatan-hambatan yang mempersukar

        pemungutan pajak dan erat hubungannya dengan struktur ekonomi suatu Negara,   dengan perkembangan intelektual dan moral penduduk, dan dengan teknik pemungutan pajak itu sendiri.

        2. Perlawanan aktif

 Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan, yang secara langsung    ditujukan terhadap fiskus dan bertujuan untuk menghindari pajak di antaranya dapat dibedakan dengan cara-cara sebagai berikut :
   • Penghindaran diri dari pajak
   • Pengelakan/ penyelundupan pajak
   • Melalaikan pajak



Dari berbagai macam perlawanan terhadap pajak ini kemudian dengan berdasar pada self assessmet system ini, maka dalam undang-undang KUP ini mewajibkan si wajib pajak (WP) untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT), yang dimaksud Surat Pemberitahuan (SPT) ini sendiri seperti yang tercantum dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang KUP, yaitu :

Surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Kewajban melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam SPT tercantum dalam Pasal 3 ayat 1 UU KUP yang berbunyi sebagai berikut :

Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Yang dimaksud dengan benar, lengkap, dan jelas dalam mengisi SPT adalah:

         a.  benar adalah benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan        ketentuan peraturan UU Pajak, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya;

b.  lengkap adalah memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak    dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam SPT; dan

c.  jelas melaporkan asal-usul / sumber objek pajak dan unsur lain yang harus diisikan dalam SPT.

Bahkan kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) dengan benar dan lengkap ini juga ada sanksi pidananya seperti yang tercantum dalam UU KUP Pasal 38, yaitu :
Setiap orang yang karena kealpaannya:

          a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau

          b. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak   lengkap,  atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.



    Dan juga di Pasal 39 ayat (1) menyatakan bahwa,

    Setiap orang yang dengan sengaja:

           a.tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;

           b. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;

          c. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;

          d. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;

          e. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;

          f. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;

          g.tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain

          h. tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau

         i.  tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut. sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan  pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.



Dari isi pasal-pasal di atas bisa dilihat bahwa kedua-duanya memiliki sanksi pidana baik di Pasal 38 yang karena kealpaan juga Pasal 39 yang karena kesengajaan.
Tetapi harus diingat bahwa dalam pelaksanaan ketentuan di bidang perpajakan itu ada 2 jenis penegakan hukum, yaitu:

1.      Penegakan Hukum Administrasi

Penegakan hukum administrasi bertujuan agar sesuatu yang menyimpang dapat dibenahi. Dalam hal ini, yang menjadi fokus perhatian untuk mendapatkan penanganan adalah perbaikan atau perubahan sikap atau perilaku dari si subjek. Penegakan hukum administrasi kurang memberikan tekanan pada si subjek atau pelaku pelanggaran, melainkan lebih menekankan pada perbuatannya. Penegakan hukum administrasi dilakukan oleh aparat pemerintah dibidang pajak, jadi bukan oleh hakim.

2.      Penegakan Hukum Pidana

penegakan hukum pajak selain dari penegakan hukum administrasi pajak berupa keberatan dan banding atas sengketa pajak antara wajib pajak dengan pemungut pajak, selanjutnya adalah penegakan hukum pidana pajak Berbicara hukum pidana pajak, tidak lepas dari adanya pelanggaran atas norma-norma hukum pidana pajak atau dengan kata lain merupaka penegakan hukum atas adanya tindak pidana pajak yang dilakukan. Tindak pidana pajak adalah jenis tindak pidana yang berada diluar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang merupakan jenis pidana administrasi (administrative penal law). Posisi menyusul hukum pidana setelah hukum administrasi ini kemudian menjadi dilematis karena terletak antara dua pandangan. Pandangan pertama yaitu bahwa hukum pidana merupakan ultimum remidium atau upaya terakhir dalam penegakan hukum setelah diberikan peluang penyelesaian hukum lewat cabang hukum lain, misalkan hukum administrasi, perdata, dll. Pandangan pertama ini senada dengan pengertian hukum pidana administrasi yang diajukan Barda Nawawie Arief dan senada dengan asas subsidiaritas dalam hukum pidana. Pandangan kedua yang berorientasi kepada pendayagunaan hukum pidana untuk tercapainya tujuan publik dari hukum pidana menyatakan bahwa setelah adanya penegakan hukum administrasi (sanksi administratif) pada suatu tindak pidana administrasi tidak menghilangkan sanksi pidana atas perbuatan tersebut.9



Penegakan hukum pidana dilakukan melalui melalui proses peradilan. Dalam rangka penegakan hukum pidana di mungkinkan adanya kumulasi eksternal atas penerapan sanksi. Penerapan sanksi kumulatif secara eksternal adalah pengenaan sanksi administrasi dan pengenaan sanksi pidana secara sekaligus.
Di dalam hukum pidana ada berbagai macam cara penerapan sanksi / stelsel pemidanaan, yaitu:

1.      Stelsel Alternatif

Ciri khas suatu UU mengatur stelsel pemidanaan yang alternatif yaitu norma dalam UU ditandai dengan kata “atau”. Misalnya ada norma dalam UU yang berbunyi “… diancam dengan pidana penjara atau pidana denda …”.

2.      Stelsel Kumulatif

Stelsel kumulatif ini ditandai dengan cirri khas adanya kata “dan”.UU Tindak Pidana Korupsi merupakan salah satu contoh UU yang menganut stelsel ini. Dengan adanya kata “dan”, maka hakim harus menjatuhkan pidana dua-duanya.

3.      Stelsel Alternatif Kumulatif

Berbeda halnya dengan dua stelsel di atas, berdasarkan stelsel alternatif kumulatif ini, ditandai dengan ciri “dan/atau”. Suatu UU yang menganut stelsel ini, memberikan kebebasan hakim untuk menjatuhkan pidana apakah alternatif (memilih) ataukah kumulatif (menggabungkan).
Bila dianalisa dari cara penerapan sanksi / stelsel pemidanaan, maka Pasal 38 UU KUP ini menggunakan cara penerapan sanksi / stelsel pemidanaan alternatif karena di dalam isi pasalnya menggunakan kata atau antara sanksi denda dan penjaranya, sedangkan untuk Pasal 39 ayat (1) UU KUP ini menggunakan cara penerapan sanksi / stelsel pemidanaan Kumulatif karena menggunakan kata dan antara sanksi denda dan penjaranya.


F.          Penetapan Hukum Terhadap Kasus Paulus Tumewu
Kasus Paulus Tumewu ini memang menurut jaksa berdasarkan hasil penyidikan, Paulus diduga melakukan tindak pidana perpajakan karena telah melanggar ketentuan pasal 39 ayat (1) UU nomor 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebelum perubahan oleh UU No 28 tahun 2007 yang isinya pada intinya sama. Tetapi meskipun Pasal 39 ayat (1) ini menganut penerapan sanksi/stelsel pemidanaan Kumulatif, dalam UU KUP ini baik yang tahun 2000 maupun yang tahun 2007 juga di Pasal 44 B menyatakan bahwa:
(1) Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan.
(2) Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan.

Bila melihat isi Pasal 44 B ini. Maka, apa yang di lakukan Menteri Keuangan dan Jaksa Agung ini adalah sudah sesuai dengan undang-undang apabila memang sebelum masuk ke Pengadilan Paulus Tumewu telah melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar